Gelar Sinopsis Kompetensi

Apabila dikatakan ” gelar tidak menjamin kompetensi”, tentu saja statement ini dapat dibenarkan, karena dilihat secara empirical.

Boleh jadi, secara empirical, ada orang yang punya “Gelar” tidak punya kompetensi. Tentu saja tidak benar manakala dilihat secara hakikat atau ontologis.

Secara ontologis, “Gelar” dapat disebut “sinopsis kompetensi”, maka setiap orang yang punya “Gelar” tentu memiliki kompetensi. Apabila tidak punya kompetensi, maka pemberian “Gelar” untuk seseorang “sembarangan”.

Gelar akademik, seperti Sarjana, Master dan Doktor diperoleh di perguruan tinggi. Karena, kampus punya otoritas untuk memberikan “Gelar” kepada mahasiswa yang dinyatakan lulus setelah seluruh tahapan akademik dilaluinya.

Kompetensi setiap orang berbeda sesuai disiplin ilmu dan profesi yang ditekuni. Dibidang yang ditekuninya, ia ahli dan punya kompetensi. Dibidang lain, tentu saja ia tidak punya kompetensi.

Dalam mengukur kompetensi harus sesuai dengan bidangnya, tidak diukur dengan bidang lain. Sebab, orang punya kompetensi dibidang yang dilakoninya.

Dalam pandangan saya, “Gelar Sinopsis Kompetensi”. Pada sisi lain, “Gelar” merupakan gambaran ilmu, keahlian, dedikasi, integritas dan keuletan. Gelar tidak diberikan “sembarangan”, tidak serta merta diberikan tanpa ada proses akademik.

Begitu juga dengan “Gelar Honoris Causa” tidak diberikan “sembarangan”. Gelar ini hanya diberikan kepada orang yang dianggap cakap, integritas, dedikasi dan punya kompetensi sebagai bentuk penghormatan.

Revolusi industri 4.0, bermakna kemajuan industri begitu cepat, dan mampu memproduksi banyak inovasi. Apa kaitannya dengan kampus, dalam hal ini kampus tentu saja sebagai user inovasi industri.

Banyak kampus tidak dapat berinovasi layaknya industri, karena fokusnya berbeda. Kampus lebih tepat sebagai user dan adaptif dengan produk industri supaya transfer knowlegde, values dan skills lebih cepat.

Bagi kampus tertentu, seperti UIN, IAIN, STAIN tidak dapat berinovasi seperti industri, jadi kompetensi yang dihasilkan hanya pada pengkajian, pendalaman, dan menghasilkan ulang tafsir kekinian.

Maka, perlu dipahami bahwa kompetensi seseorang dilihat dari gelar keilmuannya, dan tidak diukur dengan bidang lain. Apabila tidak punya kompetensi, maka sistem evaluasi dan pemberian “Gelar” sembarangan dari almamaternya.