Riset Tidak Harus Ada Masalah

Tulisan ini, mungkin berbeda, karena tidak “mainstream”, seperti pemahaman riset lazimnya. Perlu juga diperhatikan, bahwa ini hanya alternatif pemahaman.

Karenanya, tulisan ini saya beri judul “Riset Tidak Harus Ada Masalah”,dan menjadi perhatian saya saat ini. Mengingat, ada banyak calon peneliti kewalahan mencari “masalah” untuk diteliti.

Boleh saja, model berfikir ini disebut style berfikir “think out of the box”. Atau sudut pandang, dengan argumentasi berbeda.

Menurut saya, “Riset Tidak Harus Ada Masalah” atau “Riset Tanpa Masalah”. Bagi saya, tema ini penting untuk dikaji dan disorot (highlight) dengan “reasoning” dan argumentasi ilmiah.

Pada pemahaman “mainstream”, riset (penelitian) dimulai dari “masalah”, maka tanpa “masalah” tidak ada riset.

Persepsi ini sering mengeliding pada calon peneliti maupun peneliti, atau siapa saja yang hendak melakukan riset.

Misal, calon peneliti “skripsi”, “tesis”, dan “disertasi”. Begitu juga, dengan dosen yang akan meneliti, atau siapa saja yang suka meneliti. Tentu, yang dipikirkannya, yakni; apa “masalah” dari “variable” yang hendak di teliti.

Persepsi atau pernyataan bahwa, riset butuh “masalah”, punya konsekwensi logis. Sebab, peneliti akan disibukkan untuk mencari “problem”. Semua perhatiannya diarahkan pada “masalah”. Karena, memang begitu persepsi yang terbentuk.

Maka, dalam konteks ini, redaksi yang dapat dirumuskan, bahwa “peneliti cari masalah”. Kerja riset adalah “mencari masalah”.

Akhirnya, peneliti identik dengan “masalah”. Sebab, kerjanya mencari “masalah”. Kemudian, ia bekerja intensif untuk membuat “rumusan masalah”, atau setidaknya peta “masalah”.

Ada baiknya, saya paparkan, apa yang disebut “masalah” dalam riset. Soalnya, “masalah” jadi fokus utama. Masalah sering diberi definisi, “adanya gap (kesenjangan) antara das sollen (yang seharusnya) dengan das sein (yang terjadi)”.

Dari definisi “masalah” diatas, terlihat secara eksplisit “adanya silang ekspektasi antara yang diinginkan dengan kenyataan”.

Kira-kira seperti itu definisi “masalah” dalam riset. Definisi itu menjadi “paradigma”, dan plot cerita riset.

Apabila definisi itu sebagai “paradigma” dan dibawa dalam riset. Maka, semua riset harus beranjak dari “masalah”. Konklusinya yang bisa ditarik, yaitu; “tidak ada masalah, tidak ada riset dan begitu sebaliknya”.

Paradigma berfikir bahwa riset harus ada “masalah”, tentu “paradigma” ini tidak salah dan masih bisa dimengerti.

Dalam konteks ini, menurut saya bahwa tidak selalu riset berbasis “masalah”. Tidak semua riset harus ada masalahnya.

Riset tidak selalu menguji teori, seperti yang terlihat pada definisi “masalah” dan harus ada “gap” dan silang “paradigma” antara “das sollen” dengan “das sein”.

Dalam riset tidak harus mempertentangkan “das sollen” dengan “das sein”. Riset tidak harus terkotak pada “masalah”. Sehingga, tidak ada “masalah”, riset terhenti.

Bahkan, ada yang bertanya, “kenapa kamu belum ajukan proposal penelitian”. Dia jawab, “belum dapat masalah”. Sebaliknya, ada yang meminta dicarikan “masalah”untuk diteliti.

Lazimnya, dalam sistematika laporan riset. Terdapat sub bab permanen, seperti “latar belakang masalah”, yakni; bagian dari kerangka laporan riset, dan terdapat pada bab pendahuluan.

Berikutnya, yang paling krusial adalah sub bab “rumusan masalah”, redaksi ini juga sudah permanen. Sepertinya jika tidak ada kedua sub bab ini, maka penelitian itu bukan suatu penelitian.

Menurut saya, ada sifat riset tidak harus redaksinya “latar belakang masalah” atau “rumusan masalah”. Redaksinya bisa kontekstual, diadaptasikan dengan sifat riset, jadi lebih kontekstual.

Tidak semua riset mesti ada “masalah”. Misal, penelitian tentang tokoh, peran, prestasi, kinerja dan aplikasi suatu inovasi, dan lainnya. Variable risetnya tidak harus dikaitkan dengan “das sollen” dengan “das sein”.

Boleh saja, jika sub bab “latar belakang masalah” diubah dengan “dasar pemikiran”, bemakna, apa yang menjadi “fokus riset” peneliti, dan “fokus riset” tidak harus diartikan “masalah”.

Berikutnya, berkenaan dengan sub bab “rumusan masalah”. Sub bab ini, jelas terlihat bahwa riset basisnya “masalah”. Dampaknya, riset harus selalu dibelokkan kearah “masalah”, padahal tidak mesti seperti itu.

Sejatinya, ada dua hal berbeda, dan perlu menjadi “highlight”, yakni; apa yang disebut “problem statement” dan “question research”.

Dua frasa diatas berbeda, “problem statement”, esensinya adalah “why, atau apa yang menjadi “masalah” untuk diteliti”. Mungkin atau boleh saja, “problem statement” ini, kemudian diinterpretasi sebagai “rumusan masalah”.

Sementara, “question research”, bukan “problem statement”, akan tetapi “pertanyaan riset”. Maknanya, penelitian itu bukan fokus pada “masalah”, tetapi fokus pada objek yang akan diteliti. Tentu, disini ada kata “how”. Dan kata “how”, tidak serta merta bermakna “masalah”.

Maka, sub “rumusan masalah”, juga harus fleksible dan boleh saja digantikan atau direvisi menjadi “pertanyaan penelitian, atau “fokus penelitian”. Supaya, sesuai dengan sifat riset.

Pada akhirnya, riset tidak selalu terlihat ada “masalah”, mengingat definisi “masalah”, yang mengharuskan objek riset mesti ada “masalah”.

Menurut saya, sinopsisnya adalah “riset tidak harus ada masalah”. Sebaliknya, jika riset ingin dibelokkan pada “masalah”, juga tidak mengapa. Dan ingin mempertentangkan antara “das sollen” dengan “das sein”.

Related Posts

Comments 6

  1. nazar says:

    tidak semua riset harus dimulai dari melihat kesenjangan, dalam bidang tertentu justru peneliti perlu “membuat” masalah. sebagai contoh, dalam bidang teknologi, penelitian bisa dilakukan tanpa melalui adanya satu masalah atau dengan kata lain “innovasi research”.
    selamat pak doktor amiruddin yahya, mari kita mulai risearch tanpa masalah.

  2. 298201 40963Thanks – Enjoyed this post, can you make it so I receive an e-mail when you make a fresh post? From Online Shopping Greek 41073

  3. hier says:

    414401 665321naturally like your website however you need to test the spelling on several of your posts. 542808

  4. putra says:

    Saya lulusan SMK terbiasa dengan riset sederhana. Ketika kuliah ambil ilmu sosial dan apesnya waktu makul metopen dosen berulang-ulang menekankan masalah adalah syarat untuk melakukan penelitian. Otak saya langsung nge-bug, seperti orang mempertanyakan persegi bulat.

  5. Samuel Carlos Ribeiro says:

    Saya tertarik dengan Pendapat bapak tentang “penelitian tidak harus ada masalah” itu bagus, dan untuk memperkuat argumentasi tersebut sebaiknya didukung dengan sebuah hasil penelitian di bidang apa yang tidak memiliki masalah kemudian bapak sudah teliti supaya dapat menjadi referensi. Saya berharap bapak dapat memberikan hasil penelitian terhadap sesuatu yang tidak memiliki masalah lalu teliti dan hasilnya seperti apa, agar ke depan menjadi referensi yang baik, karena hampir semua orang melakukan penelitian karena ada masalah.Terima kasih

  6. adi says:

    adakah literatur penelitian tanpa masalah yg bisa jadi referensi pak? krn sy cukup tertarik dgn topik ini….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post Terbaru