Nafaqah secara sederhana dapat diartikan dengan memberikan sesuatu yang pantas kepada seseorang, dikarenakan rasa tanggung jawab yang ada pada diri seorang hamba, terhadap pihak yang berkewajiban ia menafkahinya.
Di dalam ajaran Islam, nafaqah dapat menjadi wasilah (perantara) bagi seorang hamba untuk bersedekah. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al Thabrani dari Abu Umamah, Nabi Muhammad saw bersabda: “Siapapun yang menafkahi dirinya sendiri dengan suatu nafkah, yang dengannya ia menjaga kehormatannya, maka itu adalah sedekah. Dan barangsiapa yang memberikan nafkah kepada istrinya dan anak anaknya dan keluarganya, maka ia telah bersedekah.”
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sayidina Utsman bin Affan, Nabi saw bersabda: “Apapun yang diberikan oleh seorang suami kepada keluarga dalam kehidupan rumah tangganya, maka pemberian itu baginya (suami) adalah sedekah.”
Imam Ahmad di dalam al Musnad dan imam al Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir dari sahabat al Irbadh bin Sariyah, ia mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:’Seorang suami, jika ia memberikan air minum kepada istrinya, maka ia akan dipahalai. Lalu al Irbadh bin Sariyah berkata, maka aku datangi dia (istriku), lalu aku memberinya minum, seraya aku ceritakan padanya (istriku), tentang apa yang aku telah dengar dari Rasulullah Saw.”
Pemberian nafkah oleh suami terhadap istri, adalah kewajiban yang ditetapkan sebagai sebuah syari’at di dalam ajaran Islam. Dengan nafaqah yang suami berikan kepada istrinya, ia mendapatkan pahala, karena hal itu dihitung sebagai sedekah. Dengan kata lain, menafkahi istri, anak, menyantuni kedua ibu bapak dan keluarga, adalah ibadah. Oleh karenanya berbahagialah para hamba Muslim yang telah bersungguh sungguh memberikan nafkah kepada yang berhak ia nafkahi.
Di dalam ajaran Islam, pada hakekatnya, Allah Swt selalu mencukupi kebutuhan para Hamba-Nya.Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat al Badzaar dari Abu Hurairah, dimana Nabi saw bersabda: “Pertolongan datang dari Allah Swt sesuai ukuran tanggungan atau beban, dan sesungguhnya sabar itu datang dari anugrah Allah Swt menurut kadar (ukuran) cobaan. “Semua kebutuhan hidup para hamba dijamin dicukupi oleh Allah Swt, dan adapun yang membuat para hamba merasa kurang dan tidak cukup adalah gaya hidup dari para hamba tersebut.
Di dalam hidup ini ada tiga tipologi hamba, yang pertama, diberikan kekayaan tetapi tidak diberikan rasa cukup, sehingga ia akan terus merasa kurang dan akhirnya menjadi thama’. Kedua, hamba yang diberikan rasa cukup meskipun tidak diberi kekayaan. Ia akan menjadi hamba yang qana’ah (merasa cukup) dengan apapun anugerah Allah Swt kepadanya. Hamba yang seperti ini akan menjadi ‘abdu syakur (hamba yang senantiasa bersyukur) kepada Allah Swt.
Ketiga, hamba yang diberikan kekayaan dan juga sekaligus dianugerahi rasa cukup, inilah hamba yang banyak mendapatkan keberuntungan di dalam kehidupannya. Mudah mudahan kita menjadi bagian dari tipologi hamba yang ketiga ini. Wallahu’alam




