SYEKH AL QUSYAIRY memiliki nama lengkap Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad al Qusyairy al Naisabury al Syafi’i.Syekh Abdul Karim al Sam’any di dalam kitabnya al Ansaab, jilid 10, halaman 152, dan imam al Zubaidy, di dalam kitab Tajul ‘Arus, jilid 3, halaman 493, menyebutkan, bahwa al Qusyairy dikaitkan dengan Qusyair, yaitu marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadramaut.
Sedangkan al Naisabury, dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibukota terbesar Islam pada abad pertengahan selain Balkh,Harrat, dan Marw. Di kota ini juga Umar Khayyam penyair besar dunia Islam dan Fariduddin ‘Atthaar, sufistik besar pada zamannya dilahirkan.Syekh al Qusyary yang bermadzhab Syafi’i, sangat populer dengan sebutan “syekh al Jaa’mi baina al syari’ah wa al haqiqah” (syekh pengintegrasi antara syari’at dan haqiqat).
Syekh al Qusyairy, lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal, tahun 376 Hijriah bertepatan dengan tahun 986 Miladiah. Ia wafat pagi hari Ahad, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 465 Hijriah bertepatan dengan tahun 1073 Miladiah, dalam usia 87 tahun. Syekh al Qusyairy adalah seorang hamba yang mahir berkuda dan sangat piawai menggunakan senjata pedang.
Syekh al Qusyairy adalah murid dari syekh Abu Ali al Daqqaq, dan syekh Abu Ali al Daqqaq pula yang merubah cita cita syekh al Qusyairy dari ingin menjadi pegawai di pusat ibu kota pemerintan Khurasan, menjadi seorang sufistik yang masyhur.
Imam Tajuddin al Subky, di dalam kitab Thabaqat al Syafi’iyyah al Kubra, jilid 2,halaman 269,menyebutkan syekh al Qusyairy pernah mengalami cobaan berat karena fitnah para hamba yang mendengki kepadanya, yang didukung oleh kaum Mu’tazilah yang pada masa itu berhasil mempengaruhi pemerintahan Bani Saljuk.
Akhirnya syekh al Qusyairy terusir dari Naisabur, setelah murid muridnya diceraiberaikan dan majelis ilmu serta majelis dzikirnya dipaksa untuk tutup. Keadaan penderitaan itu, berlangsung selama lima belas tahun, yaitu sejak tahun 440 Hijriah sampai dengan tahun 455 Hijriah.
Dalam kondisi terusir dan terfitnah itu, ia bermusafir menuju Baghdad, lalu memperoleh kemuliaannya kembali setelah ia bermukim di Baghdad. Syekh al Qusyairy baru kembali ke Khurasan dan selanjutnya menetap kembali di Naisabur, setelah berakhirnya peristiwa Thurghulbeg yang teragis dan kekuasaan telah kembali dikendalikan oleh khalifah Abu Syuja’.
Perdana Menteri Nidzamul Muluk, al Hasan bin Ali al Thausy (408-485.H) sangat memuliakan syekh al Qusyairy dalam kedudukannya sebagai seorang ulama dan sufistik. Menurut penjelasan iman al Subky, syekh al Qusyairy tidak hanya sufistik, ia juga ahli bahasa Arab dan mahir dalam ilmu sastra Arab.
Diantara ungkapan sya’ir sufistiknya yang masyhur adalah:”Setiap bibir terasa kelu, jika menjunjung keluhuran-Nya. Sedang kemurahan-Nya, tunggal tiada serupa. Melampaui waktu, yang berlalu maupun yang akan tiba.
Tiada abad yang meninggalkan-Nya. Tiada paksa yang menyentuh-Nya. Tiada jumlah yang mengumpulkan-Nya. Tiada singkap yang menampakkan-Nya.Tiada tirai yang menyembunyikan-Nya. Tiada batas yang memagari-Nya. Tiada tetes yang melimpahi-Nya. Keagungan-Nya azali, tiada sirna-Nya. Kerajaan-Nya abadi, tiadapun dibutuhkan-Nya.” Wallahu’alam




