Haal

Haal secara lughawiyah diartikan dengan keadaan, dalam terminologi tasawuf, haal memiliki arti kondisi ruhani dan merupakan arti yang intuitif di dalam batin, tanpa unsur sengaja sama sekali. Oleh karenanya haal adalah karunia atau anugerah dari Allah swt.

Jika maqam hadir karena ikhtiar atau diupayakan, maka haal datang datang sebagai sebuah pemberian dari Al Khaliq Sang Maha Pencipta, causa dan Creator Prima.

Oleh sebab itu haal bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan usaha tetapi sangat bergantung kepada belas kasih Allah swt terhadap seorang hamba.

Haal benar benar ditentukan oleh Al Rahman dan Al Rahim Allah swt. Haal datang dan pergi dari dalam batin seseorang seperti cepatnya gerak kilat.

Para sufistik mengilustrasikan haal, ” jika tidak menempati pasti bukan haal, dan setiap yang menempati, pastilah hilang. Lihatlah pada bayangan, ketika sampai ujungnya, berkuranglah ketika ia memanjang.”

Sebagian sufistk mengatakan bahwa eksistensi haal di dalam qalbu itu perenialis (mengabadi).

Mereka mengatakan, jika haal tidak mengabadi di dalam batin seorang hamba dan tidak terdelegasi, maka itu hanyalah goresan atau kilatan semata. Artinya orang yang mengalami pengalaman batiniah seperti itu belum sampai pada haal yang sesungguhnya.

Salah satu contoh haal adalah ridha Allah swt terhadap seseorang. Yang lebih tepat, menurut imam Al Qusyairy adalah bahwa haal itu bisa perenialis atau mengabdi pada diri seorang hamba tetapi bisa juga tidak atau sementara saja. Keduanya sangat tergantung kepada tingkat konsistensi masing masing hamba terhadap keadaan yang dapat membuat Allah swt akan menganugrahkan haal pada dirinya secara abadi atau hanya sebentar saja seperti kilatan sebuah goresan.

Haal muncul dan terasakan oleh hati seorang hamba dengan kehalusan dan kelembutan batinnya. Untuk mendapatkan anugrah haal para sufistik selalu bermunajat kepada Allah swt dengan kalimat, “yaa lathifan lam yazal ulthuf binaa fiima nazala innaka lathiifun lam tazal ulthuf binaa wal muslimiin.” Wallahu’alam